Jakarta , New Yorknya Indonesia ; Hutan beton dimana impian menjadi kenyataan . Dan betapa nyatanya “Hutan Beton” itu selama satu dekade terakhir ini. Dengan pancangan setiap tiang dan dentuman ke tanah kita nyanyikan impian dan harapan, agar suatu hari nanti Jakarta bisa menjadi lebih baik .Kami rela berpeluh ria, berdesakkan kanan dan kiri, hanya untuk suatu hari nanti monorail akan berdengung kencang melewati depan Gelora Bung Karno. Namun apa mau di kata jika mata muda ini terus menerus mencari janji janji sepuluh tahun lalu, yang tersisa hanya lilitan spanduk bekas diatas pancang pancang tiang yang mulai berkarat.
Tidak ada yang berubah dari Jakarta selama dua tahun terakhir, ibu kota ini masih menjadi pusat kemacetan, jalur jalur yang tak menentu dan keganasan kehidupan .Namun jika kamu berhenti sejenak diantara hiruk pikuk metropolitan dan seliweran Bapak Ojek ; di setiap penjuru ada progres. Ada segelintir bukti –bukti yang memungkinkan untuk adanya Jakarta baru . Jakarta yang berpikir, menjanjikan suatu kepastian dalam setiap dentingan paku bumi , suatu keyakinan di setiap kemacetan yang penuh amarah; kalau suatu hari, ini akan berakhir.
Ya, Jakarta yang berpikir, yang mengerti dan menghargai apa yang mereka miliki, bukan lagi Jakarta yang menghujat manusianya . Jakarta yang merasa bahwa kota ini adalah tanggung jawab mereka dan bergerak hati untuk berubah. Jakarta masa kini harus “berbenah” paras dan cara pikir untuk menjadi bibit unggul yang seharusnya. Jakarta muda tidak hanya terpaut pada fasilitas dan paras sang ibu kota , namun dari mentalitas manusianya . Apalah guna transportasi yang baik jika penumpangnya meloncati pagar batas mobil atau mencoret coret dinding . Gedung –gedung pencakar langit dengan fasilitas international namun pengunjungnya dapat menghancurkan partisi gedung hanya utuk diskon. Dimanakah Jakarta yang di elu-elukanbangsa Indonesia?
Jakarta harus dapat bercermin dan melihat kalau perubahan dimulai dari manusianya . Manusia yang penuh budi pekerti, pikiran yang terbuka dan menghargai apa yang kita miliki. Sebelum kita bisa berkoar koar mengatakan ke orang luar kalau Indonesia itu kaya akan budaya; praktekkanlah dalam keseharian. Lestarikannlah makanan local, dukunglah acara –acara dengan pembawaan yang tertib, buatlah komunitas – komunitas yang mempelopori perubahan positif dan edukatif terhadap generasi berikutnya. Lihatlah kedalam keseharian kita sebagai bangsa , apakah jiwa muda ini telah berkontribusi dalam pembangunan bangsa ini? Atau kita lebih sibuk memantau pencitraan kita di sosial media. Bukankah muka kita juga yang dilihat oleh orang internasional di Jakarta ini ?
Sebagai pengguna internet ke-6 terbesar didunia dan 65%nya berkonsentrasi pada pulau Jawa kita sebagai Jakarta muda seharusnya lebih terpelajar dan berani untuk dapat mengekspresikan kecintaan terhadap kota dan Negara kita. Dengan begitu banyak orang asing yang menyorot kebudayaan, kuliner, pariwisataIndonesia sebagai salah satu yang terbaik di dunia , sebagai generasi muda kita lebih sering terbuai dengan kultur asing yang di adopsi dalam keseharian agar kita dapat terlihat lebih “update”. Dimanakah Indonesia atau Jakarta yang otentik itu ? Apakah hanya terkungkung diantara bantaran kota tua ,Monas atau istana?
Jakarta adalah sebuah kuali besar yang menyuarakan orang Indonesia , sudah saatnya kita mengaum keseluruh Asia bukan hanya mengeong takut . Hei, anak Jakarta buka matamu lebar -lebar kemacetan ini tidak akan berakhir dengan infrastruktur baru jika jiwamu masih bobrok . Bangun dan bertanggung jawablah akan kota ini, karena Jakarta bukanlah milik pemerintah tapi milik kita. Singsingkan lengan bajumu dan bersiaplah, ketika infrastruktur sudah selesai itu adalah waktumu untuk menyokong kota ini menjadi kota metropolitan yang sebenarnya. Kemajuan sebuah bangsa tidak di nilai oleh gedung-gedungnya saja , tetapi dari kecerdasan bangsa itu dalam menghadapi masalah. Sudah siapkah kamu?